Header Ads Widget

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif

 Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif


Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif

Tugas 1.4.a.8. Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif. Disusun oleh Elis Suminar, M.Pd. CGP Angkatan 6 kabupaten Subang dari SMPIT As-syifa Boarding School Wanareja Subang.

Guru sebagai pemimpin pembelajaran berperan membangun disiplin positif dalam berinteraksi dengan murid. Disiplin positif bermakna belajar mengontrol diri, sebab sejatinya kita tidak bisa mengontrol orang lain. Yang dapat mengontrol diri kita hanyalah diri kita sendiri menuju sebuah tujuan berdasarkan nilai-nilai yang kita hargai. Hal tersebut berarti sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa guru sebagai pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada murid, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Seperti halnya petani yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, mambasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya.

Sebagai pendidik, guru berperan menerapkan strategi disiplin positif yang memerdekakan murid untuk menciptakan ekosistem sekolah aman dan berpihak pada anak. Sebagai guru penggerak harus mampu menggerakkan komunitas sekolah untuk bersama-sama mengembangkan dan mewujudkan visi sekolah yang pihak pada murid dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal. Nilai-nilai kebajikan bersifat universal berarti nilai-nilai kebajikan lintas bahasa, suku bangsa, agama, maupun latar belakang. Nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap murid kita yang dikenal dengan Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif. 

Refleksi

Budaya positif merupakan perwujudan dari penerapan konsep disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, dan segitiga restitusi dalam berinteraksi dengan murid di lingkungan sekolah. Menciptakan budaya positif ini diawali dengan membangun disiplin positif dari setiap warga sekolah. Disiplin berasal dari bahasa Latin, 'disciplina', yang artinya belajar. Namun pemahaman kita selama ini, disiplin adalah sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kecenderungannya adalah menghubungkan kata disiplin dengan ketidaknyamanan, bukan dengan apa yang kita hargai, atau pencapaian suatu tujuan mulia. 

Pada modul 1.4 ini, kita belajar bahwa disiplin positif adalah belajar mengontrol diri dengan menggali potensi kita, agar tercapai tujuan mulia, yaitu menjadi seseorang yang kita inginkan berdasarkan nilai-nilai yang kita hargai. Dikatakan di sini bahwa disiplin adalah belajar mengontrol diri, sebab sejatinya kita tidak bisa mengontrol orang lain. Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

Dari penerapan disiplin positif ini yaitu tercapainya tujuan mulia berdasarkan nilai-nilai yang kita hargai. Nilai-nilai itulah yang kita sebut sebagai nilai-nilai kebajikan. Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama, maupun latar belakang. Nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap murid kita yang dikenal dengan Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.

Nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama disebut dengan keyakinan. Nilai-nilai kebajikan menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

Diane Gossen, 1998 mengatakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Teori motivasi perilaku manusia terdiri dari tiga, yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, dan untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain yang merupakan motivasi eksternal. Sedangkan satu lagi adalah untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya yang termasuk ke dalam motivasi internal. Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.

Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang diberikan, dan murid hanya menerima. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Sedangkan konsekuensi sudah terencana atau sudah disepakati, sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Lalu bagaimana dengan penghargaan? penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan, yang dibuat dengan prasyarat. Istilah "dihukum oleh penghargaan" adalah penghargaan "menghukum" mereka yang tidak mendapatkan penghargaan.

Penerapan keyakinan kelas/sekolah ini perlu adanya peninjauan kembali dari guru. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana, dan mengapa? Dalam melakukan kontrol, guru dapat menerapkan lima posisi kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat rasa bersalah, Teman, Pemantau, dan Manajer. Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

Ketika tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Bentuk kontrol yang dilakukan guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Saat murid mendapatkan apa yang mereka inginkan, sebetulnya saat itu mereka sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasarnya yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging) kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Lalu ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan. atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Bentuk kontrol guru dengan proses menciptakan kondisi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka disebut dengan restitusi. Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.

Setelah mempelajari modul 1.4 ini, perubahan yang terjadi pada cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun di sekolah adalah bahwa untuk membangun budaya positif itu dengan menerapkan disiplin positif dalam berinteraksi dengan murid. Dengan disiplin positif memerdekakan murid untuk menciptakan ekosisitem aman dan berpihak pada anak dan menciptakan karakter murid serta membangun motivasi intrinsik murid. Untuk mendukung motivasi intrinsik murid, kembali ke nilai-nilai/keyakinan-keyakinan lebih menggerakkan seseorang dibanding kan dengan mengikuti serangkaian peraturan-perarturan.

Sebelum mempelajari modul 1.4 ini, saya tidak pernah menerapkan segitiga restitusi dalam menangani murid. Kini, ketika menerapkan segitiga restitusi dan posisi kontrol manajer dalam menangani kasus murid, menjadi pengalaman yang luar biasa bagi saya. Ketika murid yang bersalah merasa dihargai bukan dipojokkan. Ketika menciptakan kondisi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, dan berkolaboratif mengajarkan murid untuk mencari solusi dari masalahnya, dan membantu murid berpikir tentang ingin menjadi seperti apa mereka dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain. Hal-hal itu membuat saya bahagia. Karena di saya dan murid sama-sama belajar. Guru belajar untuk memperlakukan dan menghormati murid dengan sebaik-baiknya sesuai kodratnya, melayani mereka dengan setulus hati, memberikan teladan (ing ngarso sung tulodho), membangun semangat (ing madya mangun karso), dan memberikan dorongan (tut wuri handayani) bagi tumbuh dan kembangnya motivasi intrinsuk mereka sehingga menghasilkan karakter yang kuat. Melalui kesalahannya merupakan peluang yang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh baik secara pemikiran maupun karakter, menjadikan mereka menjadi manusia merdeka mempertanggungjawabkan dan mencari soluis atas perilakunya karena hakikatnya begitulah cara kita belajar.

Sebelum mempelajari modul 1.4 ini, berdasarkan lima posisi kontrol guru, saya lebih sering menggunakan posisi penghukum atau pembuat rasa bersalah. Saat itu saya merasa puas ketika murid merasa tidak nyaman dan bersalah dengan kesalahan-kesalahannya tanpa memintanya untuk berpikir mencari solusi dari masalah yang telah mereka buat. Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Murid merasa bersalah. Murid merasa akan menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Setelah mempelajari modul ini, pemikiran saya berubah. Saya merasa sedih bila ingat pengalaman-pengalaman dulu ketika menangani kasus murid. Belajar dari pengalaman, kini saya berusaha menggunakan posisi kontrol manajer walau belum sepenuhnya bisa terbiasa, tapi minimal saya menggunakan posisi kontrol teman ataupun pemantau. Sekarang setelah mempraktekkan posisi kontrol manajer dalam menangani murid, rasanya bahagia dan bangga karena mempersilahkan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.

Hal penting lainnya selain penerapan konsep disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, dan segitiga restitusi dalam menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah keteladanan yang konsisten juga peraturan yang konsisiten. Keteladanan dari setiap warga sekolah yang konsisiten ini, akan menciptakan kebiasaan/perilaku dari pengkondisian atau pembiasaan yang ada. Peraturan yang konsisten dan diikuti oleh keyakinan kelas/sekolah akan menciptakan lingkungan yang positif dan akhirnya membangun budaya positif dari setiap warga sekolah.

Post a Comment

0 Comments

close